Senin, 08 Maret 2010

Susunan Pakaian Adat Buton

Oleh : Asis

A. SULTAN

1. Bata-batasi pakai Lepi-lepi atau Bewe Patawala pakai Lepi-lepi
2. Baju Malau
3. Jubah Laken dan Kobelo
4. Sala Marambe
5. Bia Ogena / Bia Samasili Kumbaea
6. Keris + Sapu Tangan
7. Sulepe
8. Katuko / Tongkat

B. SAPATI

1. Bewe Poporoki berisi dan mempunyai Sulaman Benang emas
2. Jubah laken dan Kobelo agak Kecil
3. Kotango
4. Sulepe
5. Sala Marambe
6. Bia Samasili (Talu Pagata) Bia Kumbaea Talu Perak (Talu Pagata)
7. Keris / Sapu Tangan
8. Katuko / Tongkat hulu

C. KENEPULU

1. Bewe Poporoki, mempunyai isi pakaian sulaman Benang Perak
2. Jubah Laken / Hitam
3. Kotango
4. Sulepe
5. Keris + Sapu Tangan
6. Sala Marambe
7. Bia Samasili Kumbaea Perak Talu Pagata
8. Katuko / Tongakt hulu Perak

D. KAPITA RAJA / KAPITALAO

1. Bata-Batasi
2. Balahadada
3. kotango
4. Sulepe
5. Keris / Lolabi + Sapu Tangan
6. Bia Ogena (Lau-Lau)
7. Sala Arabu

E. BONTO OGENA

1. Bewe Poporoki Pakai isi tanpa Sulaman
2. Jubah (Lau Ogena)
3. Kotango
4. Bia (Lau Ogena)
5. Sulepe
6. Keris
7. Katuko / Tongakat Puu Salaka

F. BONTO SIOLIMBONA / BONTO LAINNYA

1. Bewe Poporoki
2. Jubah (Lau Ogena)
3. Kotango
4. Kain Lau Ogena
5. Keris + Sapu Tangan
6. Sulepe
7. Katuko / Tongkat Puu Salaka

G. BOBATO

1. Bewe Patawala
2. Balahadada
3. Kotango
4. Sala Arabu
5. Lolabi + Sapu Tangan
6. Bia Samasili Sampai Lutut
7. Bia Ogena

H. GALANGI

1. Kalu-kalu + Manuambo
2. Baju Khusus Galangi
3. Sala Sampai di Betis
4. Sulepe
5. Gala + Panji
6. Bewe Patawala
7. Baju Kahusus Galangi
8. Kain
9. Sulepe
10. Gala + Panji

I. SARAGINTI

1. Kalu-kalu
2. Bau-bau ( Giu-giu)
3. Sala sampai di betis
4. Kabokena Tanga
5. Katuko / Tongkat dari Rotan

J. TAMBARU

1. Kampurui, Bate
2. Baju Malau
3. Ikat Pinggang dari Kain
4. Tambu + Pemukulnya

K. PERANGKAT MESJID AGUNG KERATON

1. Serban + Jambe A. Hari Raya
2. Kotango
3. Keris + Sapu Tangan
4. Bia Kolau
5. Jubah Giu-giu
6. Sulepe
7. Katuko

L. UPACARA RESMI

1. Imam + Lakina Agama :

a. Bewe Patawala
b. Jubah + Kotango
c. Sala Marambe
d. Kain
e. Sulepe
f. Keris + Sapu Tangan
g. Katuko, Puu Salaka pakai Jumbai

2. Khatib :

a. Bewe Lancina Bebe
b. Jubah + Kotango
c. Kain
d. Sulepe
e. Keris + Sapu Tangan
f. Katuko Puu Salaka

3. M o j i :

a. Songko Tobone Pinggir Hitam
b. Jubah + Kotango
c. Kain
d. Sulepe
e. Keris + Sapu Tangan
f. Katuko besi Hulu Besi

4. Tungguna Ganda :

a. Kampurui Mpalangi
b. Baju-baju Bia-bia Tanu
c. Kain
d. Katuko dari Kayu / Kombungo

M. PAKAIAN JUM’AT

1. Semuanya memakai serban putih yang membedakan :
• Untuk Lakina Agama dan Imam berisi songko Putih pakai manik-manik di atasnya.
• Untuk Khatib berisi songko putih tidak bersulam
• Untuk Moji berisi songko Alefia
2. Semuanya memakai Jubah dan Kotango
3. Untuk Kelengkapan Lainnya tetap

N. PAKAIAN HARIAN

1. Untuk Imam dan Lakina Agama
• Bewe Lencina Bebe berisi Songko Putih bersulam
• Jubah Lau Keci + Kotango
• Kelengkapan lainnya tetap

2. Untuk Khatib
• Bewe Lencina Bebe berisi Songko Putih tanpa bersulam
• Jubah Lau Kecil
• Kelengkapan Lainnya tetap.

O. AJO BANTEA

1. Kampurui Mpalangi / Bete
2. Kain Samasili / biaya Kolau
3. Sala Arabu
4. Sulepe
5. Salenda

P. PAKAIAN PEREMPUAN

1. Isteri Bonto Ogena
a. Popungu Kelu-Kelu + Kamba Itapu + Bungaija + Bunga Gantung (Lambang Pangka)
b. Baju Koboroko tidak digulung / tergantung dan harus diluar
c. Kain Samasili Talu Pagataana + Pale Baau
d. Katapisi Giu-Giu

Apabila Pakai Baju Kambowa
Bajunya Masuk didalam dan bewetaka Iranda
Apabila sudah janda harus ada Kabokena Tanga

2. Isteri Bonto Siolimbona / Bonto Lainnya / Isteri Moji Keraton
a. Popungu Kelu-Kelu + Kamba Itapu + Bungaija
b. Baju Koboroko digulung / dipurusi dan harus di luar
c. Kain Samasili biasa + Pale Baau
d. Katapisi Giu-Giu

Apabila Pakai Baju Kambowa
Baju Masuk di dalam dan Bewetaka Iranda
Apabila sudah janda Pakai Kabokena Tanga

3. Isteri Bobato
Sama dengan Siolimbona yang membedakan Pakai Samasili Kumbaea dan Bajunya tergantung / tidak digulung dan pakai Kancing

4. Isteri Lae-Lae
a. Popungu Kelu – Kelu + Kamba Isisiri + Bunga Ija
b. Baju Koboroko digulung / dipurusi
c. Kain Kolu + Bia – Bia

5. Kalambe
a. Popungu Kelu – Kelu + Kabewei Sakalati
b. Kabokena Lima
c. Baju Koboroko / Kambowa
d. Katapisi Giu-Giu
e. Kain Atas Hitam, Bawah Putih

6. Kabua-Bua
a. Popungu Kelu-Kelu + Kabewei Sakalti
b. Kain Giu–Giu / Bia-Bia Tanu
c. Apabila Baju Koboroko Pakai Riti
d. Apabila Baju Kambowa Pakai Kapoponda
e. Simbi
f. Jao-jaonga + Lawulu

7. Anak Perempuan
a. Kalu-Kelu Sakalti
b. Kain Giu-Giu / Bia-bia Itanu
c. Simbi, jao-jaonga + Lawulu
d. Riti atai Kapoponda

8. Anak laki-laki
a. Songko Kobelo
b. Sala Arabu
c. Balahadada
d. Kain / Giu-giu

9. Belo Baruga
a. Kebesaran
• Kampurui Apalangi
• Baju Khusus
• Kain Bia Kolau
• Kabokena Tanga Mpalangi

b. Harian
• Kampurui Bate
• Kabokena Tanga Bate
• Biya Kolau
• Tidak Pakai Baju

Arti Buah Nenas Sebagai Simbol Kesultanan Buton

Oleh : Asis

Nenas adalah tanaman buah yang dapat hidup di segala tempat baik di tanah subur maupun tandus dengan aroma yang sangat harum dan mempunyai rasa yang cukup manis, serta mempunyai daun yang berduri – duri.

Tanaman ini pada masa lalu banyak tumbuh di sekitar perkampungan Wolio (Kelurahan Melai Kota Bau – Bau) yang saat itu sebagai ibu kota Kesultanan Buton. Disamping sebagai tumbuhan peliharaan tetapi juga sebagai tanaman benteng pertahanan. Karena itu tumbuhan nenas mempunyai bagian – bagian yang mengandung makna, yaitu :

1.Pada bagian atas mempunyai daun Mahkota menggambarkan payung dan dianggap sebagai Pimpinan yang senantiasa mengayomi rakyatnya;
2.Pada bagian buah terdapat sisik yang sangat banyak sebagai rakyat umum dengan mendiami 72 Kadie (wilayah);
3.Daun yang berduri adalah gambaran jiwa untuk mempertahankan diri dari segala gangguan keamanan dan ketertiban dari manapun datangnya;
4.Buah yang manis adalah mencerminkan kebaikan dengan menempatkan prinsip kerendahan hati, sopan santun tutur kata dan tidak menyakiti orang lain;
5.Pada bagian pangkal bawah buah nenas terdapat daun yang melebar adalah landasan berpijak seluruh masyarakat yaitu sara patanguna (empat prinsip hidup)

Pomae maeka : Saling takut sesama manusia;
Popia piara : Saling memelihara sesama manusia;
Pomaa maasiaka : Saling menyayangi sesama manusia;
Poangka angkataka : Saling menghargai sesama manusia;

Oleh karena itu simbol ini adalah makna hubungan antar sesama manusia dengan mengedepankan prinsip keadilan, persatuan dan kesatuan, juga hubungan antara pemimpin dengan masyarakat yang dipimpinnya.

Sinopsis Budaya Buton : Pekande-Kandea

Oleh : Asis

Pekakande-kandea adalah salah satu acara tradisional yang diadakan oleh masyarakat dalam rangka menyambut kedatangan para Pahlawan negeri yang kembali dari medan juang dengan membawa kemenangan gemilang. Disamping itu acara ini merupakan pula acara pertemuan muda mudi karena hanya pada acara seperti inilah remaja putera dan puteri memperoleh kesempatan bebas untuk saling pandang.

Dalam pelaksanaannya, masyarakat menyiapkan talam yang berisikan makanan tradisional, kemudian secara bersama berkumpul dalam satu arena yang telah ditetapkan.

Disinilah gadis remaja dengan menggunakan busana tradisional pula duduk menghadapi talam masing-masing. Setelah tiba saatnya, tampillah dua orang pelaksana untuk mengucapkan WORE, sebagai satu pertanda bahwa acara Pekakande-Kandea siap dimulai, selanjutnya disusul dengan irama KADANDIO dan DOUNAUNA dengan pantun awal :

“ Maimo sapo lapana puuna gau “
“ Katupana Mia bari ‘ amatajamo “

Selanjutnya terbukalah kesempatanb bagi siapa saja untuk duduk menghadapi talam. Distulah remaja Putera menyampaikan isi hatinya melalui irama lagu berupa pantun, seraya menunggu saatnya pria melaksanakan tompa. Kemudia sebagai tanda terima kasih sang pemuda memBerikan hadiah pada sang Puteri yang memberikan suapan atau sipo kepadanya.

Sebagai rentetan dari acara ini kadangkala terjadilah kontak yang membawa nikmat antara kedua insan remaja, berupa proses adat tanah leluhur yang berbentuk pinangan.

Pelayaran Indonesia Timur Masa Kerajaan Buton

Kerajaan Buton

Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton, tenggara Pulau Celebes atau namanya sekarang, Sulawesi, pada zaman dahulu pernah mempunyai kerajaan sendiri. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit. Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.

Selain pendapat yang menyebut bahawa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahawa Islam datang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayu dari pelbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahawa walau pun bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Melaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga.

Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahawa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, iaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Beliau berhasil mengislamkan Raja Buton yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.

Sejarah Awal

Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si empat orang) yaitu Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada akhir abad ke – 13.

Mereka mulai membangun perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota Bau-Bau serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan lembaga legislatif).

Dalam periodisasi Sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16 dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Laki La Ponto sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke – 38 yang berakhir tahun 1960.

Bidang Politik

Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).

Bidang Hukum

Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton , 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu diantaranya yaitu Sultan ke – VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara digogoli (leher dililit dengan tali sampai meninggal).

Bidang Perekonomian

Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).

Bidang Pertahanan

Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :

“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)

“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)

“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)

“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)

Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).

Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau-Bau.

Penulis :

Aji, Dimas Suryo Sudibyo, Sumantri, Randy

Mahasiswa Sejarah Kampus Universitas Indonesia

Minggu, 07 Maret 2010

Hikayat Sipanjonga Sebagai Sumber Sejarah Buton dan Konsekuensi Historiografisnya

Oleh: La Ode Rabani(Universitas Airlangga-Surabaya)

A. Pengantar

Perkembangan historiografis pada beberapa tahun terakhir dan perubahan politik yang terjadi di negara-negara berkembang telah membawa angin segar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya sejarah. Perkembangan ilmu sejarah menuju ke arah yang lebih baik seiring dengan munculnya pendekatan baru dalam memahami peristiwa sejarah. Definisi sejarah yang diperluas telah membuka kesempatan untuk menulis tema-tema baru dalam kajian sejarah masa kini. Kajian sejarah juga telah memperluas penggunaan sumber untuk menulis sejarah. Sebelumnya, sumber sejarah hanya didominasi oleh sumber dokumen yang mengakar pada pendapat no document no history seperti yang dikemukakan oleh von Ranke.

Pendapat itu pada perkembangan mutakhir tidak dapat dipertahankan. Menguatnya pendekatan struktural, hermeunetik, posmodernisme, dan terakhir adalah subalten history telah memperluas penggunaan sumber sejarah. Saat ini sejarah yang ditulis bisa menggunakan sumber lisan (wawancara-interniew), sumber tradisional seperti hikayat, tambo, babad, dan mithos, meskipun harus mencermati sumber itu secara ketat dan selektif. Artinya tidak semua unsur dalam karya itu menjadi sumber sejarah yang valid. Kritik sumber, verifikasi, interpretasi dan analasis yang ketat untuk menemukan fakta dalam sumber tradisional menjadi syarat utama. Hal itu terjadi karena ada banyak unsur yang menyertai rekonstruksi dari lahirnya sebuah naskah-naskah tradisonal seperti itu.

Naskah Tradisonal dalam proses pembuatannya selalu melibatkan orang-orang besar dan untuk kepentingan orang besar pula. Dalam sejarah juga kita tidak pernah menemukan lapisan sosial bawah yang bisa menulis karya-karya agung seperti I Lagaligo di Bumi Sawerigading, Luwu Makassar, Tambo di Minangkabau, Babad Tana Jawi di Jawa, Hikayat dari Melayu, dan manuskrip lain. Isi dari naskah itu kebanyakan peran raja, bangsawan, dan para pembesar kerajaan yang ada di dalamnya. Selain itu, isi biasanya peristiwa politik yang dipenuhi unsur mistis dan peristiwa suksesi dan proses penobatan raja. Terdapat juga pembagian wilayah kekuasaan para raja dan pembantu raja serta para pembesar kerajaan lainnya. Dalam hubungan itu, interpretasi terhadap Hikayat Sipanjonga dianalisis sehingga kita mampu menemukan fakta sebenarnya.

B. Interpretasi Hikayat Sipanjonga sebagai Sumber Sejarah Buton

Makalah ini membahas Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah Buton dan konsekuensi historiografisnya, sebuah analisis hermeunetik. Pembahasan diarahkan untuk mengungkap interpretasi dan pemakaian hikayat sebagai sumber sejarah yang terkandung dalam Hikayat Sipanjonga hingga sekarang. Terdapat tiga alasan untuk menulis tema ini. Pertama, penulisan dan interpretasi sejarah Buton yang menggunakan Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah tidak pernah berubah yakni Buton dibangun oleh mia pantamiana (empat manusia pertama) yang berasal dari Johor Melayu. Keempat orang itu adalah Sipanjongan, Sitamanajo, Sijawangkali, dan Simalui.[1] Kedua, terdapat penafsiran yang berbeda pada isi Hikayat Sipanjonga yang menceritakan keberadaan Mia Pantamiana di Buton yang “dianggap” sebagai peletak dasar kerajaan dan manusia pertama di Buton.

Menurut Susanto Zuhdi dalam disertasinya mengatakan bahwa Kisah-kisah yang ditemukan dalam Hikayat Sipanjonga memperlihatkan adanya proses adaptasi antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Hal ini terlihat dari adanya kisah dalam naskah Hikayat Sipanjonga yang melibatkan pertarungan Sijawangkati yang menebang pohon enau yang ternyata pohon itu sudah dikuasai oleh Dungkuncangia yang sakti. Keduanya sama-sama kuat dan tidak saling mengalahkan. Akhirnya mereka sepakat berdamai dan rukun serta saling membantu dalam ikatan persaudaraan. Dungkuncangia diketahui sebagai kepala negeri (raja) dari Tobe-Tobe, yang berjarak sekitar 7 km dari Wolio. Dalam kesepakatan itu Dungkuncangia setuju untuk bergabung dengan Wolio.[2] Pendapat seperti ini tidak pernah ditemukan dalam penelitian dan tulisan sebelumnya.

Dalam kajian Hasaruddin yang dipresentasikan pada Simposium Internasional IX Pernaskahan Nusantara di Kota Bau-Bau yang kemudian dimuat dalam Jurnal Filologi Melayu, Jilid 14, 2006 mengatakan dengan tegas bahwa Mia Pantamiana ialah bangsawan dari daratan Malaka sebagai orang pertama yang menjadi peletak dasar kerajaan Buton. Pada bagian lain dari artikel itu Hasaruddin mengatakan bahwa Sipanjongan adalah seorang raja di Johor tepatnya di pulau Liya karena dalam pelayarannya menuju Buton membawa perbekalan seperti halnya seorang raja.[3] Hasaruddin juga mengatakan bahwa Sipanjongan melakukan pernikahan dengan rombongan kedua Simalui yang datang ke Buton. Saudara Simalui itu adalah Sabanang. Hasil pernikahan Sipanjonga dengan Sabanang ini melahirkan anak yang kemudian dinamakan dengan Betoambari.[4] Perkawinan Sipanjongan dengan Sabanang menjadi pemersatu antara kedua gelombang pendiri kerajaan Buton.[5] Pernikahan Sipanjongan dengan Sabanang tidak pernah diungkap oleh tulisan lain.

Ketiga, dalam buku yang berjudul Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna atau Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dialihbahasakan oleh Ustaz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik pada tahun 1863 M yang kemudian disalin ulang oleh La Ode Muhammad Ahmadi (mantan Qadhi Masjid Agung Keraton Buton), La Ode Muhammad Amir (mantan Qadhi Masjid Agung Keraton Buton), dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir (Mantan Imam Lipu Malaga/Wantiro) mengatakan bahwa Sipanjongan tidak pernah menikah seperti halnya anggota perantau Johor yang lain.[6] Buku ini juga memuat adanya sepuluh orang yang menjadi pemimpin manusia yang mula-mula mendiami negeri Buton. Kesepuluh orang itu juga disebut dalam buku sebagai orang yang menulis kitab sejarah terjadinya negeri Buton dan Muna.[7] Dengan tiga alasan itu, berarti masih adanya ruang untuk berdiskusi lebih lanjut mengenai asal usul masyarakat dan sejarah Buton, khususnya fakta mengenai manusia pertama dan peletak dasar kesejarahan kerajaan Buton (Butun).

C. Penciptaan Naskah Tradisional

Peneliti Barat (Eropa) yang berminat pada penelitian kawasan Asia Tenggara pada awalnya tidak tertarik untuk menjadikan naskah tradisional sebagai sumber sejarah Asia Tenggara. Hal ini dipicu oleh rumitnya mencari fakta dalam berbagai naskah Asia Tenggara. Selain itu ada banyak kontradiksi, banyak nama, dan banyak peristiwa dalam naskah-naskah tradisional Asia Tenggara. Yang lebih memprihatinkan lagi, peneliti Eropa menganggap tidak ada informasi penting dan masuk akal yang perlu diambil dari naskah-naskah tradisional yang tersebar di Asia Tenggara.

Anggapan itu berubah ketika beberapa ada sebagian peneliti dan penguasa Eropa yang menulis tentang Asia Tenggara. Di Indonesia kita menyebut Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stanford Raffles yang menulis History of Java. Dalam karya ini Rafles menggunakan sumber babad untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam kerajaan Mataram di tahun 1700an. Konflik Mataram Yogyakarta dan Surakarta berbuntut pada terpecahnya Mataram menjadi dua kerajaan. Sumber Babad membantu Rafles memahami konflik kepentingan di dalam istana Mataram.[8] Hal serupa dilakukan oleh Virginia Matheson yang membahas konflik di Kesultanan Johor sebagai bagian yang berhubungan dengan Lingga Riau. Viginia Matheson mampu membuktikan adanya peran orang-orang Bugis dan Bajak Laut yang membantu Johor untuk mempertahankan eksistensi di tengah persaingan dengan kekuatan yang lebih kuat yakni kekuatan VOC seperti yang disebutkan dalam hikayat Tuhfat al Nafish.[9] Penggunaan naskah tradisional itu sebagai sumber sejarah ikut mempengaruhi substansi dan lahirnya fakta-fakta baru dalam sejarah Asia Tenggara pada masa-masa kemudian, termasuk sejarah Indonesia saat ini. Pada konteks itu penggunaan Hikayat Sipanjonga dipahami.

Hikayat Sipanjonga sebagai sumber sejarah Tradisional Kerajaan Buton hingga saat ini masih terus dipergunakan tanpa ada perluasan analisis terhadap maksud dan tujuan naskah itu dibuat. Seperti kebanyakan naskah lainnya, di balik penciptaan naskah si Panjonga pasti ada proses sebelum naskah itu menjadi utuh sampai sekarang.

Seperti diketahui Naskah Hikayat Sipanjonga ditulis oleh seorang pedagang Banjar pada tahun 1267 H atau 1850 seperti diungkap oleh Hasaruddin dalam buku Naskah Buton, Naskah Dunia.[10] Isi hikayat antara lain memuat dengan jelas sosok Sipanjongan yang menjadi raja di Pulau Liya sebagai seorang yang dermawan, memiliki harta yang banyak, dan memilik banyak saudara. Naskah juga menjelaskan proses tidurnya Sipanjongan yang bermimpi bertemu dengan seorang tua dan mengatakan kepadanya bahwa “hai cucuku, apa juga sudinya cucuku tinggal di pulau ini”? lebih baik engkau mencari lain tempat yang lebih baik dari pulau ini, karena pulau ini bukan cucuku yang memegang dia.[11] Selanjutnya Sipanjongan melakukan pelayaran ke timur dengan membawa perbekalan yang cukup. Dalam pelayarannya ini Sipanjongan dan rombongannya menggunakan Palulang yakni jenis perahu yang digunakan untuk berlayar mengarungi lautan. Dalam pelayarannya Sipanjongan memilih waktu baik agar selamat sampai di tempat tujuan. Satu penjelasan dari naskah adalah adanya angin yang kencang dan mendorong Palulang hingga kecepatan perahu sama dengan rajawali yang terbang sehingga pulau Liya tempat sang Raja (Sipanjongan) berkuasa hilang dalam sekejap.

D. Memperluas Analisis Hikayat Sipanjonga (HSP).

Seperti kebanyakan naskah-naskah pribumi yang dihasilkan oleh intelektual Tradisonal Asia Tenggara termasuk Indonesia khususnya karya yang dihasilkan di dalam istana cenderung bersifat istana sentris. Istana sentris mengacu pada pemahaman bahwa isi kitab atau kitab yang kemudian kita kenal dalam berbagai sebutan seperti hikayat, tambo, lontara, hikayat babad dan sejenisnya berisi peran besar istana (raja) atau para pembesar kerajaan dalam membangun dan mengembangkan kerajaan yang dipimpinnya, termasuk di Kerajaan Buton. Dari sejumlah naskah (manuskrip) yang dihasilkan selalu mengungkap kebesaran raja dan para pembesar kerajaan sebagai ciri umum yang berlaku untuk sebagian besar manuskrip yang dihasilkan di Asia Tenggara.

Manuskrip-manuskrip itu ditulis untuk berbagai kepentingan. Naskah HSP ditulis sebagai warisan pengetahuan agar generasi penerus kerajaan Buton diketahui. HSP seperti disebutkan di atas bahwa sumbangan pengetahuan penting dari hikayat ini adalah mengenai manusia/pendatang pertama di Buton yang kemudian mendirikan kerajaan Buton. Mereka datang dari Melayu dan membawa simbol kebesaran kerajaannya yang dipasang diburitan perahu yang mereka tumpangi. Naskah ini juga diketahui sebagai salinan yang dilakukan oleh seorang pedagang Banjar yang singgah dalam perjalannya menuju Sumbawa.

Naskah HSP telah menjadi sumber utama penulisan sejarah Buton dan tidak pernah ada kemajuan dalam interpretasi maupun mencoba membandingkan dengan naskah saduran lain kecuali yang dilakukan Susanto Zuhdi (1999) yang mengatakan bahwa Hikayat Sipanjonga memperlihatkan adanya proses adaptasi antara kelompok pendatang dengan penduduk asli. Dari sisi ini terdapat kemajuan yang berarti atas interpretasi naskah. Belum ada interpretasi dan kajian lanjutan setelah Susanto Zuhdi menemukan sisi lain dari HSP. Setelah 10 tahun interpretasi lama dihadirkan kembali sehingga historiografi kritis tidak berkembang sebagaimana diharapkan Susanto Zuhdi.[12]

Jika membandingkan antara isi Hikayat Sipanjonga dengan Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna atau dalam bahasa Arab Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dikarang oleh Ustadz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik tahun 1863 dalam aspek yang sama terhadap sejarah Buton terdapat perbedaan. Perbedaan itu terlihat pada orang-orang yang berperan penting dalam proses perjalanan Sejarah Buton. Dalam Saduran naskah Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat disebutkan terdapat 10 orang yang memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan membangun kerajaan Buton. Kesepuluh orang itu adalah Sipanjonga, Sitamanajo, Simalui, Sisajangkawati, Dungku Cangia, Sang Ria Rana atau Sanga Riarana, Banca Patola, Kaudoro, Raden Jutubun atau Baubesi, dan Raden Sibatara atau Sabatara.

Kandungan (isi) Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat menjadi bukti yang mendukung pendapat Susanto Zuhdi. Dengan begitu HSP tidak harus dipahami apa adanya tetapi perlu dikembangkan dengan interpretasi yang lebih kritis, sehingga kita menemukan fakta sebenarnya dalam menjelaskan sejarah Buton yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah Kerajaan dan Islam Indonesia. Perbedaan kedua isi itu sebenarnya saling melengkapi yang menghadirkan fakta baru bahwa ada orang lain selain mia pantamiana yang membangun Buton sebagai sebuah entitas masyarakat yang hidup pada jamannya. Selain itu, salah satu fakta yang ada di dalam naskah HSP yang memuat sejarah manusia pertama di Buton secara faktual harus direvisi karena tidak memberikan tempat bagi orang lain selain mia pantamiana yang memiliki sejarah di daerah itu. Dengan penjelasan itu maka HSP sama dengan karya-karya tradisional yang lain dengan ciri umum pada istana sentris dan mengabaikan kelas sosial lain dalam perjalanan sejarah sebuah pemeritahan/kekuasaan.

Fakta lain juga menunjukan bahwa aktivitas utama pada periode itu adalah perdagangan dan muhibah agama. Keduanya berjalan saling mendukung. Bedagang sambil menyebarkan agama adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, meskipun salurannya menggunakan budaya lokal untuk mempermudah misi itu berjalan. Agama Hindu Budha dan Islam serta Kristen juga menggunakan cara ini agar lebih mudah diterima masyarakat.

Posisi Buton yang terletak di jalur perdagangan Internasional yakni di antara Maluku sebagai penghasil rempah-rempah yang laku di pasar internasional dan bisa menjangkau pasar Cina dan Asia Tenggara dan Selatan ikut memperkuat fakta bahwa daerah ini tidak sepi dari para pedagang. Jika pendapat van Leur yang mengatakan bahwa ciri utama perdagangan awal di Indonesia adalah menyusuri pulau-pulau terdekat untuk kemudian meneruskan perjalannya ke tempat tujuan.

Dalam sejarah Buton juga dicatat adanya kerajaan-kerajaan kecil sebelum kerajaan Buton (di Wolio/keraton Buton sekarang) berdiri. Kerajaan Buton tumbuh dari empat kampung yang bersatu. Keempat kampung itu adalah kampung Baluwu, Gundu-gundu, peropa, dan Barangkatopo. Dalam bahasa setempat dinamakan dengan pata limbona. Keempat kampung itu dipimpin oleh menteri atau bonto. Perluasan kekuasaan Buton juga ditandai dengan bergabungnya lima kampung lain sehingga Buton menjadi sembilan (9) kampung atau dalam bahasa setempat dinamakan dengan sio limbona. Kelima kampung yang bergabung dengan Buto itu adalah kampung Sambali, Melai, Gama, Wandailolo, dan Rakia. Pekerjaan penduduk kampung itu sebagian besar sebagai perajin emas, perak, dan tembaga.

Buton benar-benar menjadi luas ketika 72 kadi (kampung) ikut bergabung di dalamnya. Perluasan ini menunjukan kekuasaan kerajaan Buton yang kuat dan mampu mengontrol hampir seluruh pulau itu.[13] Penjelasan ini menunjukan membuktikan adanya kelompok masyarakat lain di luar empat manusia pertama sebagaimana yang dipahami selama ini dalam menulis sejarah Buton.

Undang-undang Martabat Tujuh yang selama ini di kenal di Buton sudah ada di Aceh dengan kandungan yang hampir sama. Sementara konsep kampung yang bernama kadi di Buton juga terdapat dalam bahasa Aceh. Hal ini berarti bahwa Buton dan Aceh (semenanjung Melayu) melakukan kontak intensif. Tradisi intelektual yang berlangsung dalam Kerajaan/Kesultanan Buton dibangun dari kontak budaya yang berlangsung antara keduanya. Bisa jadi Aceh (Pasai) sebagai Kerajaan Islam Pertama memiliki andil besar dalam proses pengembangan tradisi tulis dan pengembangan intelektual elite kerajaan, tanpa mengabaikan peran para pedagang yang melakukan kontak dengan kerajaan di Buton.

E. Konsekuensi Historiografis

Memahami penulisan sejarah Buton yang dimulai dengan manusia pertama mia pantamiana sebagai empat manusia pertama, sama saja mengabaikan orang-orang yang tidak memiliki tradisi tulis yang mendiami Buton sebelumnya. Sejarah Masa Hindu di Sulawesi yang berlangsung beberapa abad sebelum datangnya mia pantamiana adalah bukti bahwa keberadaan masyarakat yang belum memiliki tradisi tulis itu sudah mendiami pulau Buton meskipun pemerintahannya masih belum pantas disebut kerajaan. Mereka baru memiliki pemimpin tradisional yang belum memiliki undang-undag tertulis, bentuk kerajaan, dan sebagainya. Doa-doa untuk pengobatan, keselamatan, dan upacara-upacara adat yang secara turun temurun diwariskan secara lisan kepada anak cucu mereka menjadi bukti adanya warisan lokal melalui bahasa. Sebagaimana terdapat dalam lafal doa, beberapa bagian dari doa juga dicampur dengan pengaruh Islam yang kental. Ini menandakan adanya percampuran dan saling pengaruh antara bahasa Lokal dan Islam di Buton. Bahasa Lokal yang dipakai tidak seluruhnya berasal dari Melayu dan bahasa Arab. Mereka membangun bahasanya sendiri.

Jika dilihat dari HSP, maka bahasa masyarakat Buton yang ada dan diwariskan pada generasi sesudanya adalah bahasa Sipanjonga dan Rombongannya (Melayu) dan Arab (Islam). Adanya bahasa lokal yang dominan dan dibangun atas telah melemahkan fakta dalam HSP yang selama ini dikutip oleh para peneliti sejarah Buton.

Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli) yang dikarang oleh Ustadz Akbar Maulana Sayid Abdul Rahman Hadad di Gresik tahun 1863 juga ikut menjadi bukti lain betapa HSP lemah secara metodologi untuk mengatakan bahwa empat manusia itu yang membagun Buton. Dengan demikian historiografi sejarah Buton yang dibangun atas 1 sumber yang berasal dari HSP perlu ditinjau kembali. Penggunaan satu sumber telah mengabaikan sumber lain yang bisa dipertanggungjawabkan secara metodologi.

Sejarah Buton dalam kitab itu justru ditemukan oleh utusan khusus Nabi Muhammad yang bernama Abdul Gafur dan Abdul Syukur. Dalam tradisi lisan Buton dikatakan bahwa nama Buton berasal dari kata Bathny yang berarti perut. Perut ini diambil dari hurum MIM yang berasal dari nama Muhammad. Dalam perjalanan kedua utusan itu sebelum sampai di Buton mereka harus singgah dulu di Johor, Pasai, dan Cina serta beberapa negeri lain yang tidak disebutkan.dengan keterangan ini menunjukan bahwa sudah kontak intensif antar pulau pada waktu itu. Kontak seperti ini membuka lahirnya komunikasi budaya yang saling mempengaruhi. Akibatnya adaptasi dan konflik berdasarkan kepentingan selalu menyertai proses historis budaya yang berkembang kemudian.

F. Kesimpulan

Menjadikan HSP sebagai satu-satunya rujukan untuk menulis sejarah Buton bukan menjadi solusi di tengah perkembangan historiografis yang semakin kritis. HSP mengandung konsekuensi historiografis yang luar biasa, karena kesan yang dimunculkan oleh HSP adalah Buton didirikan oleh mia pantamiana dari Johor (Melayu). Itu artinya semua produk intelektual (naskah, Manuskrip, dan sebagainya) bisa saja menjadi milik pendirinya sebagai warisan.

Kenyataan bahwa Buton tidak didirikan semata-mata oleh peran manusia pertama yang terdiri dari empat orang itu terlihat dari proses perkembangan kerajaan Buton yang dibangun dari kampung-kampung yang sudah lebih dahulu eksis. Karena itu, amatlah bijak kalau mengatakan bahwa Buton dibangun oleh banyak elemen masyarakat yang bertempat tinggal di pulau itu. Berdirinya Kerajaan Buton memang dalam HSP disebutkan pendirinya adalah empat manusia pertama. Tetapi dalam Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat menggambarkan adanya perintah Sipanjonga “WE berarti perintah buatlah dan LIA berarti perkampungan”. Jadi perintah itu menunjukan ada orang lain yang mengerjakan perintah untuk membangun perkampungan di Wolio (Buton). Perkampungan ini kemudian diketahui sebagai pusat Kerajaan Buton.[14]

Bahasa naskah-naskah Buton sebagaimana realitas yang masih tersimpan menunjukan bahasa Melayu, Arab Gundul dan bahasa Belanda. Hal ini bukan berarti naskah itu merupakan produk intelektual Melayu dan Arab. Untuk hal ini penulis memahaminya dari aspek komunikasi budaya dan bahasa umum yang dipakai pada periode itu. Bahasa umum yang dipakai pada abad naskah-nasakah itu dibuat adalah bahasa Melayu yang mulai beradaptasi dengan pengaruh Islam yang kuat sehingga keduanya sering sulit dipisahkan dari hasil karya yang dihasilkan pada masa itu.

Dalam konteks itu naskah yang mayoritas berbahasa Melayu dan Arab gundul serta bahasa Belanda di manapun berada sepanjang menyangkut Asia Tenggara dan hubungan antar kerajaan perlu diperlakukan sebagai milik bersama dan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Artinya perawatan dan proses penyelamatan naskah harus juga dilakukan bersama karena selama ini sering tidak ada perawatan dan perhatian terhadap warisan budaya yang bernilai itu. Menjadi penyelamat dan perawat naskah tidak berarti harus mengaku bahwa ini milik kami tetapi lebih pada komitmen penyelematan warisan budaya Melayu yang dibangun oleh sebuah proses yang melibatkan banyak pihak dan intelektual di dunia Arab dan Melayu, termasuk di Buton. Dengan demikian polemik bisa dihilangkan yang berujung pada ketengangan sesama bangsa Asia Tenggara.

REFERENCES

Ahmadi, La Ode Muhammad La Ode Muhammad Amir, dan La Ode Muhammad Tanziylu Faizal Amir, Sejarah Terjadinya Negeri Buton dan Negeri Muna Assajaru Huliqa Daarul Bathniy wa Daarul Munajat (Saduran Asli)” Khusus kalangan sendiri, tanpa tahun.

Alfian, Teuku Ibrahim, Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah, cetakan ke-2, Yogyakarta: Ceninnets, 2004

Bhurhanuddin, B. dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Depdikbud, 1979

Darmawan, Yusran (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia (Baubau: Respect, 2009)

Hasaruddin, Jurnal Filologi Melayu, Jilid 14, 2006

————-, “Sipanjongan dalam Hikayat Negeri Butuni: Suatu Penjelasan Singkat”, dalam Yusran Darmawan (ed.), Naskah Buton, Naskah Dunia, Baubau: Respect, 2009

Matheson, Virginia. “Strategy of Survival, The Malay Line of Lingga Riau”, dalam Journal of Southeast Asian Studies, Vol XVII, No. 1, 1986, hlm. 18-23.

Nunuk Wijayanti, Pemikiman Kota Buton pada Abad XVII – XIX, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 1997,

Rabani, La Ode, Kota-Kota Pantai di Sulawesi Tenggara 1906-1942, Thesis, Yogyakarta: Pascasarjana, 2002

Zahari, A.M. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni (Buton) Jilid I, II, dan III, Jakarta: Depdikbud RI, 1977

Zuhdi, Susanto dkk. Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996

Zuhdi, Susanto, Labu Wana Labu Rope: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII, Disertasi di Universitas Indonesia Jakarta, 1999